Separuh Semangatku Hilang
Sinar
matahari pagi masuk dari sela-sela jendela kamarku. Tidur yang baru ku mulai,
harus segera ku akhiri. Tugas menyiapkan sarapan untuk ketiga kakakku tak dapat
di tunda. Mereka yang sedari tadi sudah sibuk membereskan rumah membuatku tak
tega menunda.
Hari
ini pukul 09:00 WIB, aku dan dua kakak laki-lakiku akan pergi ke Rumah sakit
untuk menemani bapak yang sedang dirawat. Bapak memutuskan untuk menuruti
bujukan keluarga untuk bersedia dirawat. Bapak mengidap penyakit gagal ginjal
dan jantung. Ini adalah kali kedua bapak masuk Rumah sakit dalam delapan bulan.
Sakit bapak mengakibatkan tubuh bapak menjadi besar seperti berisi air. Ya, air
yang ditampung dalam tangan, kaki, dan perut.
Setiba
di Rumah sakit, aku ingin memeluk dan mencium bapak. Padahal aku paling takut
dengan beliau. Berbincang pun jarang. Aku dapat merasakan betapa sakitnya raga
beliau.
Minta
ini dan itu seperti memberi tanda pada kami. Salah satu kakakku diminta bapak
untuk membersihkan telinganya karena gatal. Aku dimintanya untuk menggarukkan
punggung dan kakakku yang satu diminta untuk membelikan roti. Dalam hati aku
menjerit, oh bapak... kau seperti akan pergi jauh meninggalkan kami semua.
Banyak
yang menjenguk bapak, mulai dari keluarga dari ibu dan teman-teman dari
anak-anaknya. Sesekali bapak mengeluh pada ibu “mengapa teman dan adik-adikku
tidak datang menjenguk?” keluh bapak. Ibu hanya bisa menenangkan bapak dan
menahan air matanya yang ingin jatuh.
Jam
jenguk telah usai. Kami menunggui bapak di ruang tunggu. Bapak dibiarkan untuk
istirahat. Entah apa yang dilakukan bapak di dalam, yang pasti suster selalu
mengatakan bahwa bapak meminta ditemani ibu.
Pukul
15.00 WIB. Suster memanggil ibu dan meminta agar segera masuk dalam ruangan.
Suster
: “Ibu, bapak perlu tambahan darah dan stok darah yang sama seperti golongan
darah bapak sudah habis. Ibu harus segera menghubungi keluarga barangkali dapat
mendonorkan darahnya untuk bapak.”
Ibu
: “Baik, sus. Saya akan segera menghubungi keluarga.”
Keluarga
dikumpulkan dan banyak yang bersedia mendonorkan darah untuk bapak.
Esok
hari. Jadwal bapak cuci darah untuk pertama kali. Kondisi bapak semakin
melemah. Dokter tidak melakukan cuci darah jika kondisi bapak terus menurun.
“Kondisi bapak harus dipulihkan terlebih dahulu” ujar dokter. Saat itu bapak
tak sabar untuk segera cuci darah. Beliau ingin lekas sembuh. Namun, kami
mencoba menenangkan beliau.
Hari
berikutnya bapak siap untuk dicuci darah. Akan tetapi, jarum yang digunakan
untuk cuci darah kurang panjang untuk menyuntik tubuh bapak yang sudah
terlanjur besar. Dokter menganjurkan untuk beralih ke Rumah sakit lain yang
memiliki peralatan yang lebih lengkap. Mendengar pernyataan itu, kondisi bapak
kembali melemah. Bapak sempat tidak bernapas. Kami panik. Dokter berusaha
semaksimal mungkin dan kami hanya bisa berdoa. Alhamdulillah... Allah
mengabulkan doa kami.
Pukul
03:00 WIB bapak dipindahkan ke Rumah sakit lain yang lebih lengkap
peralatannya. Sepanjang perjalanan bapak merintih kesakitan.
Sampai
di Rumah sakit, bapak menolak untuk memakai alat bantu pernapasan.
Bapak
: “Saya tidak mau memakai itu, sus. Dada saya sesak.”
Suster
: (membujuk)
Ibu
: “Dipakai, pak. Supaya cepat sembuh.”
Bapak
: “ Ya Allah... kenapa mencari sehat sulit sekali.”
Bapak
istirahat. Kami menunggu dalam ruang tunggu. Tiba-tiba dokter memanggil suster
agar segera menuju ruang ICU. Bapak kembali tidak bernapas. Aku memperhatikan
dokter dan suster sangat bekerja keras. Dokter memanggil ibu ke dalam ruangan.
Dokter
: “Ibu, ini kondisi bapak sangat lemah. Saya memberi obat dalam tubuhnya agar
dapat mendorong kerja jantungnya.”
Ibu
memperhatikan ujaran dokter. Dari situ bapak mulai koma.
Aku
genggam tangan bapak. Beliau membalas genggamanku. Saat aku ingin melepas,
beliau mengeratkan tangannya dengan tanganku. Dalam hati aku berkata bahwa aku
sayang bapak. Bapak adalah separuh semangatku. Doa, doa, dan doa yang dapat aku
lakukan.
Bapak
mulai sulit untuk bernapas. Tubuh bapak dipenuhi alat bantu. Mulut beliau pun
tak terlepas dari alat bantu. Saat aku mengusap-usap tangan bapak, aku melihat
bapak sulit untuk mengambil napas. Aku perhatikan benar-benar. aku panggil
dokter. Dokter dan suster segera melakukan tindakan. Nihil. Dokter mengatakan bapak
sudah tiada. Aku tak percaya. Aku bertanya pada ibu dan kakak-kakakku. Benar
ternyata. Innaalillaahi wa innaailaihi raaji’uun. Semoga bapak diterima disisi
Allah. Aamiin.